|
Dr. Ikwan Setiawan, M.A. |
Bagi kawan-kawan yang pernah hidup di Jember pada era 80-an dan 90-an, pasti masih ingat hawanya yang segar dengan angin semriwing. Selain berada di lembah pegunungan Argopuro, kondisi itu tidak bisa dilepaskan dari banyaknya GUMUK yang tidak jauh dari wilayah kota.
Ya, gumuk--istilah khusus untuk bukit yang tidak terlalu tinggi, 1-50 m--pada masa-masa itu menjadi bagian integral dari proses perkembangan masyarakat Jember, termasuk para mahasiswa dari wilayah lain. Satu gumuk yang sangat terkenal adalah Gumuk Kerang, di Jl. Karimata. Banyak mahasiswa yang menikmati lanskap Jember dari gumuk yang banyak ditumbuhi pohon mente ini.
Meningkatnya kebutuhan akan rumah bagi warga kota, menjadi rezim diskursif yang berkembang pesat pada era 2000-an. Pertumbuhan usaha properti sangat pesat dengan bermacam pengembang; baik dari dalam maupun luar Jember. Orang-orang berjiwa ekonomi tentu akan melihatnya sebagai hukum kesempatan berdasarkan permintaan selalu saja diwacanakan meningkat. Padahal belum tentu juga, karena normalisasi kebenaran selalu saja dibarengi normalisasi kepentingan.
Kebutuhan para pengembang untuk mendapatkan lahan yang relatif murah menjadikan mereka melirik gumuk sebagai idola baru. Gumuk yang biasanya dimiliki secara personal, mulai dibeli dengan harga yang mungkin tinggi bagi pemiliknya. Dengan membeli gumuk, para pengembang akan mendapatkan lahan untuk perumahan, sekaligus keuntungan dari galian batu maupun tanahnya.
Kalau dulu pada era 90-an, gumuk Gunung Batu, yang mulau diratakan, saat ini gumuk di Jl. Riau dan Kaliurang sudah menjadi perumahan besar. Daerah perempatan Riau-Kaliurang tembus SECABA--Sekolah Calon Bintara--yang dulunya sangat senyap, kini sangat ramai. Bahkan sebuah gumuk di sebelah Timur Sastra UNEJ, kini dalam proses diratakan untuk lahan cluster perumahan. Sebutan kota 1000 gumuk pun sudah tidak pantas lagi disematkan untuk Jember.
Akibat langsung dari diratakannya gumuk adalah wilayah kota, termasuk kampus UNEJ, semakin panas. Benar-benar panas, khususnya di musim kemarau. Gumuk yang menjadi tandan air ketika musim penghujan, bukan hanya menjadi sumber air, tapi juga mampu menyeimbangkan suhu panas dengan cadangan air dan pohon-pohon di atasnya. Selain itu, di beberapa wilayah akan mudah sekali terkena banjir di musim hujan karena tidak ada lagi yang menyerap air hujan. Yang tidak kalah mengerikan adalah mulai habisnya sumber air: hal itu semakin terasa di musim kemarau.
Hasrat besar para pemodal properti untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya berbasis kebutuhan akan rumah, telah menjadikan gumuk dihilangkan dari lanskap Jember. Para pemilik gumuk tak kuasa untuk tak menjualnya karena puluhan juta yang akan mereka terima dari pemodal; dibandingkan ketika gumuk mereka hanya ditumbuhi pohon. Para pejabat juga tidak ambil pusing dengan bermacam persoalan akibat habisnya gumuk. Bagi mereka, pajak IMB dan pemasukan lainnya akan lebih menggiurkan, toh untuk mengatasi panas mereka bisa menyalakan AC di mobil ataupun kantor.
Sementara, kalangan aktivis lingkungan hidup membuat gerakan SAVEGUMUK. Meskipun demikian para pemodal dan birokrat seperti tidak menghiraukan wacana-wacana yang dilontarkan kelompok ini. Sebenarnya, kalau pemerintah mau serius, tentu saja mereka bisa membuat aturan yang sangat ketat terkait pembangunan perumahan. Misalnya, melarang perataan gumuk. Pihak bank sebagai pemberi modal juga bisa menghentikan dana untuk pengembang nakal. Nyatanya, mereka tidak menghiraukan krisis ekologis akibat gumuk yang dihabiskan.
Atau, mungkin para aktivis perlu melakukan advokasi kepada para pemilik gumuk? Atau, mungkin perlu gerakan sosial yang lebih konkrit yang melibatkan mahasiswa, akademisi, warga terdampak, aktivis lingkungan kalau semua cara diplomasi dan kritik sudah tidak mempan?
Yang pasti, Jember semakin panas hari ini. Gumuk si pendekar lingkungan itu terkapar, rata dengan tanah; ditumbuhi hutan beton.
Salam LIN D, Tawang Alun - Kampus
Gumukku Indah - Gumukku Malang - Kini Teraniaya